KEPADA SIAPA PUASA DIWAJIBKAN?
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Para ulama telah sepakat bahwa puasa wajib atas seorang mus-lim yang
berakal, baligh, sehat, dan bermukim (tidak musafir), dan bagi seorang
wanita hendaklah ia suci dari haidh dan nifas.[1]
Adapun tentang tidak wajib berpuasa bagi mereka yang tidak berakal dan
belum baligh, maka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ،
وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ.
“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia
sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia
baligh.”[2]
Sedangkan tentang tidak wajibnya berpuasa atas orang yang sakit dan musafir, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“... Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain...” [Al-Baqa-rah: 185]
Jikalau orang yang sakit dan musafir tersebut tetap berpuasa, maka hal
tersebut telah mencukupinya, karena dibolehkannya mereka berbuka
merupakan suatu bentuk keringanan (rukhsah), dan jika mereka tetap
melaksanakan yang wajib, maka itu adalah baik.
6. Mana Yang Lebih Utama Bagi Mereka, Berbuka Atau Puasa?
Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan kesulitan dalam
berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka menemukan
kesulitan dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.
Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia
berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam di saat bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada
yang berbuka. Mereka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu
pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. Mereka
berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa untuknya lebih
baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka adalah lebih baik.”[3]
Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang sedang haidh dan
nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا.
“Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka tidak shalat dan
tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [4]
Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka puasanya itu tidak
mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu syarat puasa
adalah suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk mengqadha'
puasa tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dahulu di
saat kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan kami tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat.” [5]
7. Apa Yang Wajib Dilakukan Oleh Lelaki Tua Jompo Dan Wanita Tua Yang Lemah, Juga Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh
Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa dikarenakan lanjut usia atau yang
semisalnya, maka boleh baginya berbuka dan memberi makan seorang miskin
setiap hari dari hari-hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman
Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin....” [Al-Baqarah: 184]
Diriwayatkan dari ‘Atha', bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca
ayat tersebut, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat ini tidak mansukh
(dihapus hukumnya), yang dimaksud adalah lelaki dan wanita yang sudah
lanjut usia, dimana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka
memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang
ditinggalannya.” [6]
8. Wanita Hamil Dan Menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk
berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka
boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk
membayar fidyah tetapi mereka tidak wajib mengqadha’. Diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyalahu anhuma, bahwasanya dia berkata, “Diberikan
keringanan kepada orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam
hal tersebut, sedang keduanya sanggup berpuasa untuk tidak berpuasa jika
mereka mau dan memberi makan orang miskin setiap hari serta tidak ada
kewajiban qadha' atas keduanya. Kemudian hukum ini dinasakh dengan ayat
ini:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Rama-dhan), maka hendaklah dia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]
Dan telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang
lemah, jika keduanya tidak mampu berpuasa. Juga bagi wanita yang sedang
hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak
berpuasa dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari.”[7]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
“Jika wanita yang sedang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga wanita
yang menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh
bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin
setiap hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas
mereka mengqadha' puasa.”[8]
Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Salah seorang puteri dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menjadi isteri salah seorang laki-laki
Quraisy, dan di saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan,
maka Ibnu ‘Umar memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan seorang
miskin setiap hari (yang ditinggalkan).” [9]
9. Ukuran Makanan Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia
pernah tidak mampu berpuasa selama setahun (30 hari di bulan
Ramadhan-pent.), maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan
memanggil 30 orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang.[10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (I/506) cet. ar-Rayyan
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 574)], Shahiih Muslim
(II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 951], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/191, no. 1951).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 630)], Shahiih Muslim
(I/265, no. 335), Sunan Abi Dawud (I/444, no. 209, 260), Sunan
at-Tirmidzi (II/141, no. 784), Sunan an-Nasa-i (IV/191).
[6]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 912)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (VIII/179, no. 4505).
[7]. Sanadnya kuat: HR. Al-Baihaqi (IV/230).
[8]. Shahih: Syaikh al-Albani menyandarkannya dalam Irwaa-ul Ghaliil
(IV/19) kepada ath-Thabari (no. 2758) dan ia berkata sanadnya shahih
sesuai dengan syarat Muslim.
[9]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/20], ad-Daraquthni (II/207, no. 15).
[10]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/21], ad-Daraquthni (II/207, no. 16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar