KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Akad Nikah
Rukun akad nikah ada dua, yaitu: Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat sahnya adalah :
1. Adanya izin dari wali
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الْوَلِيُّ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا
مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Wanita yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya bathil, maka
nikahnya bathil, maka nikahnya bathil. Jika sang lelaki telah
mencampurinya, maka sang wanita berhak mendapatkan maskawin untuk
kehormatan dari apa yang telah menimpanya. Dan jika mereka
terlunta-lunta (tidak memiliki wali), maka penguasa dapat menjadi wali
bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [1]
2. Hadirnya para saksi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.”[2]
Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya seorang wali, maka
merupakan kewajiban juga bagi wali untuk meminta persetujuan dari wanita
yang berada di bawah perwaliannya sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Tidak boleh bagi seorang wali untuk memaksa seorang wanita untuk menikah
jika ia tidak ridha dan jika wanita tersebut dinikahkan sedangkan ia
tidak ridha, maka ia berhak membatalkan akad tersebut. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَتُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ
حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟
قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ.
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dipinta
perintahnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah
dimintai izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
izinnya ?” Beliau menjawab, “Bila ia diam.” [3]
وَعَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خَدَّامَ اْلأَنْصَارِيَّة، أَنَّ أَبَاهَا
زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ، فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا.
“Dan dari Khansa binti Khaddam al-Anshariyyah: bahwa bapaknya telah
menikahkannya sedangkan ia janda, akan tetapi ia tidak rela, kemudian ia
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau
membatalkan pernikahannya.” [4]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallah anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang
mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadu bahwa bapaknya
telah menikahkannya sedangkan ia tidak rela, maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salalm menyerahkan pilihan kepadanya. [5]
Khutbah Nikah
Disunnahkan khutbah menjelang akad nikah, yaitu yang disebut sebagai Khutbatul Hajah, dan lafazhnya adalah sebagai berikut :
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ
لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
“Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kepada-Nya kita memuji,
memohon pertolongan dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari
kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa
yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat
memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang
berhak diibadahi dengan benar) selain Allah semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kalian mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam." [Ali 'Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian Yang telah
menciptakan kalian dari jiwa yang satu, serta daripadanya Allah
menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (menggunakan) Nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian." [An-Nisaa': 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
ke-menangan yang besar." [Al-Ahzaab: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله، وَخَيْرَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Amma ba’du: “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah pe-tunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru dan setiap
yang baru (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat
dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” [6]
Sunnahnya Tahni-ah (Ucapan Selamat) Pernikahan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alihi wa
sallam apabila mendo’akan seseorang yang menikah beliau bersabda:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ، وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.
“Semoga Allah memberkahi kalian dan menetapkan keberkahan atas kalian serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” [7]
Mahar (Maskawin)
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(am-billah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya." [An-Nisaa’: 4]
Mahar atau maskawin adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh
laki-laki yang akan menikahinya. Maskawin merupakan hak milik seorang
isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik sang ayah maupun
selainnya, kecuali jika diambilnya maskawin itu dengan keridhaan
hatinya.
Syari’at Islam tidak membatasi nominal sedikit banyaknya maskawin, akan
tetapi Islam menganjurkan untuk meringankan maskawin agar mempermudah
proses pernikahan dan tidak membuat para pemuda enggan untuk menikah
karena mahalnya maskawin.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikit pun…" [An-Nisaa’: 20]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya ‘Abdurrahman bin ‘Auf
datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan
padanya terdapat bekas kekuningan, Rasulullah bertanya tentang hal
tersebut, lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan beliau bahwasanya ia
telah menikahi seorang wanita dari kalangan Anshar, Rasulullah bertanya,
“Berapa engkau membayar maskawinnya?” Ia menjawab, “Satu biji emas.”
Kemudian beliau bersabda, “Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor
kambing.” [8]
Dan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu ia berkata :
إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذْ قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا
قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا
شَيْئًا ثُمَّ قَامَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا ثُمَّ
قَامَتْ الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ
فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ
أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ قَالَ: لاَ. قَالَ:
اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ فَطَلَبَ ثُمَّ
جَاءَ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ.
فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا
وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ
الْقُرْآنِ.
“Pada suatu waktu aku bersama para Sahabat dan di tengah-tengah kami ada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita
yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita ini
telah menyerahkan dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Akan
tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanggapinya,
kemudian wanita tersebut berdiri kembali seraya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan dirinya untukmu,
maka katakanlah pendapat Anda.’ Namun Rasulullah tetap belum
menanggapinya, maka wanita tersebut kembali berdiri untuk yang ketiga
kalinya seraya berkata, ‘Sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan
dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Sampai kemudian ada
salah seorang Sahabat yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah,
nikahkanlah aku dengannya!’ Beliau bersabda, ‘Apakah engkau mempunyai
sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar?’ Laki-laki itu menjawab,
‘Tidak’ Kemudian beliau bersabda, ‘Pergi dan carilah sesuatu meski hanya
sebuah cincin dari besi!’ Maka laki-laki itu pergi dan mencari apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi
ia kembali dan berkata, ‘Aku tidak menemukan sesuatu meski hanya sebuah
cincin dari besi.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, ‘Apakah engkau menghafal sesuatu dari al-Qur-an?’ Ia
menjawab, ‘Aku menghafal surat ini dan itu,” beliau bersabda, ‘Pergilah,
sesungguhnya aku telah menikahkan dirimu dengannya dengan mahar hafalan
al-Qur-an yang ada padamu.’” [9]
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran maskawin
ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan atau mendahulukan pembayaran
sebagian maskawin dan mengakhirkan sebagian lainnya. Apabila sang suami
telah menggauli isteri sedangkan ia belum membayar mas kawin, maka hal
itu sah-sah saja, akan tetapi ia wajib membayar mahar mitsil (mahar
senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat wanita itu) apabila
dalam akad nikah ia tidak menyebut maskawin yang akan ia berikan. Namun
jika ia telah menyebutnya, maka ia harus membayar maskawin sebesar apa
yang telah ia sebutkan. Dan berhati-hatilah, jangan sampai seseorang
tidak memenuhi hak wanita yang telah disyaratkan, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ.
“Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah
syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).”[10]
Apabila sang suami meninggal setelah akad dan sebelum menggauli, maka isteri berhak mendapatkan maskawin seluruhnya.
Dari ‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada
‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang
lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal, ia belum menentukan maskawin
dan menggaulinya.” ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih tentang hal
tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia
menjawab, ‘Aku berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar
yang didapat oleh wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan
dan ia juga wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i
bersaksi bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menetapkan
kepada Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh
‘Abdullah bin Mas’ud.” [11]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524)], Sunan Ibni Majah (I/
605, no. 1879) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/98, no.
2069), Sunan at-Tirmidzi (II/280, no. 1108) dan lafazh dari ke-duanya
adalah “فَإِنْ دَخَلَ بِهَا... فَإِنْ تَشَاجَرُوْا”
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557)], al-Baihaqi (VII/125), Shahiih Ibni Hibban (305/1247)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/191, no. 5136), Shahiih
Muslim (II/1036, no. 1419), Sunan Abi Dawud (VI/115, no. 2087), Sunan
at-Tirmidzi (II/286, no. 1113), Sunan Ibni Majah (I/601, no. 1871),
Sunan an-Nasa-i (VI/85). Dan maksud dari al-Aimu dalam hadits ini adalah
wanita janda yang ditinggal suaminya karena kematian atau talak,
walaupun orang Arab menggolongkan bagi setiap orang yang tidak mempunyai
pasangan, baik laki-laki ataupun wanita.
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1830)], Shahiih al-Bukhari (IX/194,
no. 5138), Sunan Abi Dawud (VI/127, no. 2087), Sunan Ibni Majah (I/602,
no. 1873), Sunan an-Nasa-i (VI/86).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1520)], Sunan Abi Dawud (VI/120, no. 2082), Sunan Ibni Majah (I/603, no. 1875).
[6]. Takhrijnya telah lalu pada pembahasan Khutbah Jum’ah.
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1546)], Sunan Ibni Majah
(I/614, no. 1905), dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/166,
no. 2116), Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1097) dan dalam riwayat mereka
berdua khitabnya untuk mufrad (بَارَكَ اللهُ لَكَ... الخ).
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/221, no. 5153), Shahiih
Muslim (II/1042, no. 1427), Sunan Abi Dawud (VI/139, no. 2095), Sunan
at-Tirmidzi (II/277, no. 1100), Sunan Ibni Majah (I/615, no. 1907),
Sunan an-Nasa-i (VI/119).
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/205, no. 5149) dan ini
adalah lafazh beliau, Shahiih Muslim (II/1040, no. 1425), Sunan Abi
Dawud (VI/143, no. 2097), Sunan at-Tirmidzi (II/290, no. 1121), Sunan
Ibni Majah (I/608, no. 1889) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VI/123).
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/217, no. 5151), Shahiih
Muslim (II/1035, no. 1418), Sunan Abi Dawud (VI/176, no. 2125), Sunan
Ibni Majah (I/627, no. 1954), Sunan at-Tirmidzi (II/298, no. 1137),
Sunan an-Nasa-i (VI/92).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1939)], Sunan at-Tirmidzi (II/306,
no. 1154), Sunan Abi Dawud (VI/147, no. 2100), Sunan Ibni Majah (I/609,
no. 1891), Sunan an-Nasa-i (VI/121)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar